Disadur oleh: Eki Qushay Akhwan
Apa yang terjadi ketika kita melihat sebuah foto sesungguhnya adalah serangkaian pembacaan yang kompleks, tidak hanya terhadap subjek fotonya saja, melainkan juga terhadap ekspektasi dan asumsi-asumsi yang melekat pada foto itu. Foto adalah sebuah teks yang dapat dibaca. Dan layaknya proses membaca, pembacaan foto melibatkan serangkaian proses pemaknaan dan relasi yang tidak sederhana antara pembaca dan teks (baca: foto) itu sendiri.
Sebuah foto mendapatkan maknanya melalui apa yang disebut sebagai “diskursus fotografis” – yaitu bahasa isyarat yang memiliki tata bahasa dan sintaksisnya sendiri (Burgin, 1982). Diskursus ini pada gilirannya juga merupakan bagian dari, dan bertautan dengan, diskursus-diskursus lain. Jadi sebuah foto, meskipun tampak seperti benda mati yang pasif, sesungguhnya merupakan situs intertekstualitas yang kompleks yang mempertemukan serangkaian teks-teks sebelumnya pada satu titik temu budaya dan sejarah.
Dengan pemahaman seperti di atas, sebuah foto tidak pernah menjadi representasi yang netral. Pada setiap tingkat pembacaan, foto dipenuhi oleh konteks ideologis yang mengonstruksi makna dan merefleksikan makna itu dalam stempel kekuasaan dan otoritas. Setiap foto mengandung “pesan fotografis” yang merupakan bagian dari “praktek signifikasi” yang mencerminkan isyarat, nilai, dan keyakinan-keyakinan dari suatu suatu budaya.
Oleh karen itu, ketika kita membaca sebuah foto, maka yang sesungguhnya terjadi adalah kita mencoba memasuki dan memahami serangkaian relasi yang tersembunyi pada ilusi yang diciptakan oleh foto itu. Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu diingat, yaitu:
Pertama, foto merupakan karya seorang fotografer, yang tidak dapat bersikap pasif dalam menghasilkan karyanya. Sang fotografer, dalam hal ini, memasukkan, mencuri, dan mereka-ulang apa yang terlihat melalui kacamata diskursus budaya. Oleh karena itu, karya foto tidak pernah steril dari sudut pandang estetis, politis, dan ideologis tertentu.
Kedua, foto juga mengisyaratkan (mengandung isyarat) patokan-patokan referensi yang membentuk pemahaman kita terhadap terhadap dunia tiga dimensi (dunia nyata). Oleh karena itu, foto menjadi bagian dari acuan yang lebih luas yang tertaut dengan serangkaian konteks sejarah estetis, kultural, maupun sosial.
Bersambung …
Sumber:
Clarke, Graham. The Photograph. New York: Oxford University Press, 1997 (hal. 27 - 30).
No comments:
Post a Comment