Showing posts with label Seni Melihat. Show all posts
Showing posts with label Seni Melihat. Show all posts

Thursday, June 12, 2008

Dekonstruksi Berburu Foto

Text and pictures ©Eki Qushay Akhwan
Dilarang mempublikasi ulang artikel dan foto dalam posting ini tanpa izin dari pemilik hak cipta.






Obsesi fotografer dengan hal-hal yang luar biasa sering membuat mereka lupa pada hal-hal biasa yang ada di sekitar mereka. Mereka sering meluangkan waktu khusus dan rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk sebuah perburuan yang diharapkan akan menghasilkan karya foto yang wah.

Tentu itu sah-sah saja. Kita semua – bukan hanya fotografer – memang perlu jeda dari rutinitas sehari-hari yang dapat membuat kita pelan-pelan lumpuh dan membusuk dari dalam. Namun, perburuan tidak harus selalu dibingkai dengan waktu dan biaya khusus. Fotografi sesungguhnya adalah seni melihat. Artinya, bukan objek (yang kemudian menjadi subjek foto kita) lah yang sesungguhnya indah atau wah, namun bagaimana kita melihatnya lah yang sebenarnya menentukan bagus tidaknya foto yang kita hasilkan.

Objek yang indah dan wah di tempat yang nun jauh memang menarik dan berpotensi besar untuk menghasilkan foto yang membuat penikmat foto berdecak kagum. Namun tidak semua objek yang indah akan menghasilkan foto yang indah. Semua bergantung pada bagaimana sang fotografer membingkainya ke dalam foto – bagaimana dia melihat dan menemukan elemen-elemen yang jika dikomposisikan secara jeli akan menghasilkan foto yang menggelegar. Inilah yang sering dilupakan oleh sebagaian fotografer, terutama fotografer pemula, yang sering beranggapan bahwa hanya objek yang indahlah yang akan membuat subjek foto yang indah. Mereka lupa pada esesi dasar fotografi sebagai seni melihat.

Jika kita menghayati betul fotografi sebagai seni melihat, maka seharusnya kita tidak selalu harus jauh-jauh berburu dan mencari objek foto yang secara inheren indah untuk dapat menghasilkan foto yang wah. Yang perlu dilatih adalah justru mata dan mata batin kita untuk dapat menemukan keindahan pada hal-hal biasa yang ada di sekitar kita. Inilah esensi fotografi. Inilah keahlian yang sesungguhnya harus dilatih dan dimiliki oleh seorang fotografer. Berburu foto tidak harus dimaknai sebagai kegiatan fisik, tapi kegiatan batin yang bertujuan mengasah kepekaan rasa.

Dengan mata dan mata batin yang peka, kita dapat melihat keindahan di mana-mana: di rumah, di tempat kerja, di jalanan macet yang menjengkelkan, bahkah di tempat-tempat kumuh yang sering menjijikkan bagi sebagian besar orang. Itulah yang sesungguhnya membedakan mata kita – mata fotografer – dari mata orang awam. Jika sebagai seorang fotografer atau peminat foto Anda masih menggunakan mata Anda seperti orang awam, maka jangan harap Anda akan mendapatkan foto yang indah, meskipun Anda telah pergi ke tempat yang jauh dengan biaya yang tidak kecil sekalipun.





I took this picture at a doctor's waiting room. Dreadful situation like a family member's being sick should not prevent us from seeing the beauty the word's offering us. All we need to do is open our mind's eye.





I took this picture and the picture at the top of this article at the office. An keen and observant eye should not be sored by an exhausting day at work.

Saturday, May 24, 2008

Pelajaran Fotografi #4: Memotret Tanpa Kamera

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan
© Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.

Judul tulisan ini mungkin aneh. Mana mungkin memotret tanpa kamera? Tapi memang inilah fokus pelajaran keempat ini.

Banyak orang awam atau peminat pemula fotografi yang beranggapan bahwa foto-foto hebat hanya bisa dihasilkan dengan kamera dan peralatan yang canggih. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena sesungguhnya yang paling menentukan bagus tidaknya foto adalah sang fotografer, bukan alat yang dipakainya. Rahasia para fotografer hebat sebenarnya terletak pada kreatifitas mereka, atau lebih tepatnya cara mereka melihat. Kamera dan semua peralatan pendukungnya hanyalah alat yang membantu mereka mewujudkan gagasan dan merekam cara pandang mereka.

Dunia ini dinamis, kompleks, dan penuh dengan objek dan peristiwa yang sekilas bisa jadi tampak kacau balau dan membingungkan. Tentu kita tidak dapat merekam semua kerumitan itu dalam foto yang, pada wujudnya, dibatasi oleh sebentuk bingkai. Bingkai yang tidak seberapa besar inilah batas ruang ekspresi sang fotografer. Oleh karena itu, prinsip pertama yang harus diikuti dalam menciptakan foto yang bagus adalah, memilih, mengisolasi, dan menyederhanakan. Untuk dapat melakukan semua itu, seorang fotogrfer harus melatih mata (dan mata batinnya) dalam melihat dunia sekelilingnya.

Seorang fotografer yang handal mampu mengidentifikasi citraan-citraan (images) yang menarik karena dia terus-menerus mengasah kemampuan melihatnya. Dapat dikatakan bahwa, ketika dia tidak membawa kamera sekali pun, dia terus-menerus “memotret” – melihat atau mengamati segala sesuatu dengan referensi bingkai foto yang terbatas.

Untuk mengilustrasikan hal di atas, coba amati rangkaian foto-foto berikut. Suatu pagi beberapa waktu yang lalu, saya melihat seorang pedagang kue bandros di depan hotel tempat saya menginap. Foto #1 adalah gambaran kesan umum yang tampak oleh mata saya. Inilah kira-kira citraan yang dilihat oleh orang awam yang belum terlatih cara melihatnya. Bagi seorang fotografer, “penemuan” itu hanya langkah awal yang berlangsung dalam hitungan detik. Penemuan itu akan segera menggerakkan mata dan mata batinnya untuk melakukan eksplorasi, mencari dan menemukan hal-hal yang secara visual menarik. Eksplorasi itu bisa jadi membawa si fotografer pada ekspresi muka si tukang bandros, atau pada kegiatannya membuat kue bandros, atau pada peralatan yang dipakainya. Sekali lagi, semua eksplorasi itu dilakukan melalui referensi bingkai foto yang sudah tertanam dalam benaknya. Foto #2 dan #3 adalah kesan khusus yang didapatkan oleh fotografer melalui pengatan visualnya.

Jadi, bisakah kita memotret tanpa kamera? Tentu bisa! Bahkan, untuk menjadi fotografer yang handal, Anda harus melakukannya setiap saat. Pasanglah bingkai foto pada mata dan mata batin Anda, dan lihatlah dunia di sekitar Anda melalui jendela itu. Temukan apa yang menarik untuk difoto. Ingat, bingkai foto adalah ruang ekspresi yang terbatas. Oleh karena itu, Anda harus selalu mengingat tentang pentingnya memilih, mengisolasi, dan menyederhanakan subjek yang Anda lihat.

Selamat mencoba, dan nantikan pelajaran fotografi selanjutnya!

Tuesday, April 22, 2008

Seni Melihat

Disadur oleh: Eki Qushay Akhwan

Untuk menguasai seni melihat kita harus mengembangkan kemampuan untuk terlibat secara emosional dengan apa yang kita lihat, dan belajar mengenali harmoni wujud dan bentuk serta warna yang membangkitkan emosi itu. Bagi sebagian orang, kemampuan persepsi tingkat tinggi ini mungkin sudah dibawa dari lahir. Bagi sebagian yang lain, kemampuan seperti itu perlu diajarkan.

Ada beberapa tingkatan cara melihat. Cara melihat yang paling primitif hanya “merekam” segala sesuatu yang ada di depan mata kita, persis seperti cara kerja kamera yang merekam apapun yang ada di depan lensanya. Pada tingkat ini, tidak ada keterlibatan pikiran untuk menafsirkan apa yang direkam.

Pada tingkat selanjutnya, melihat tidak hanya merekam apa yang lewat di depan mata kita, namun juga – melalui keterlibatan pikiran – mengubah apa yang tampak oleh mata itu menjadi objek-objek yang bisa dikenali, seperti rumah, pohon, orang, dan sebagainya.

Seni melihat ada pada tingkat yang lebih tinggi dari kedua tingkat di atas. Pada tingkat ini kita tidak hanya mengenali objek, tapi juga menemukan sifat objek dan melihat relasi antarobjek yang menggerakkan perasaan dan membangkitkan kepekaan estetis kita.

Ketika kita mengalami “seni melihat,” maka yang sesungguhnya terjadi adalah kita sedang menciptakan gambar/foto yang indah di dalam benak kita – tanpa kamera, tanpa kanvas.

Pengarang William Saroyan suatu ketika mengatakan ini ketika memberi pengantar pada buku koleksi Foto-Foto tentang Amerika-nya Arthur Rothstein:

"Sudah menjadi sifat kita untuk mengamati dan melihat. … Semakin banyak kita mengamati, semakin banyak yang kita lihat; semakin banyak kita berkeinginan untuk mengamati, semakin banyak yang dapat dilihat, dan semakin banyak hal-hal kecil yang dapat ditemukan dalam segala sesuatu yang dapat kita lihat. Foto bunga daisy yang bagus akan merangsang kita untuk mulai mengamati bunga daisy secara lebih cermat, dan dari pengamatan itu kita akan mengamati segala sesuatu secara lebih cermat …"

Penemuan kamera telah memungkinkan jutaan orang untuk mereproduksi secara akurat pemandangan yang memberi kesenangan kepada mereka – kemampuan yang dulu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ketrampilan teknis menggambar, melukis, atau mematung. Fotografi dalam hal ini telah mendemokratisasikan proses reproduksi itu. Namun, reproduksi saja tidak cukup untuk menciptakan karya seni. Ada hal lain lain yang diperlukan, yaitu kemampuan mengenali apa yang layak direproduksi.

Secanggih apapun teknologinya, kamera tetap hanya sebuah alat mekanis yang tidak memiliki otak sendiri. Kamera hanyalah alat yang membantu fotografer menciptakan karya seni. Fotograferlah yang memilih momen yang tepat untuk ditangkap. Kamera hanya menjadi alat berkreasi bagi mata, mata hati, dan mata pikir fotografer. Foto yang memukau hanya dapat tercipta kalau fotografer mengarahkan kameranya di saat yang tepat, memerhatikan dengan seksama orang atau benda yang difotonya, serta sadar sepenuhnya apa yang tersusun di dalam jendela bidik.

Esensi foto sebagai hasil dari seni melihat dapat diibaratkan dengan sebuah puisi. Keduanya perlu dibaca dengan seksama dan berulang-ulang agar maknanya menjadi jelas. Puisi yang bagus mampu menstimulasi pikiran pembacanya untuk “melihat” hal-hal yang biasa dengan cara baru. Demikian juga dengan foto yang bagus; dia mampu menstimulasi pemerhatinya untuk melihat hal-hal yang biasa dengan cara baru.*)

Sumber:
Finn, David. How to Look at Photographs. (New York: Harry N. Abrams, Inc., 1994)